Selasa, 13 Desember 2011

POLEMIK PEMBERANTASAN KORUPSI



Usaha pemberantasan korupsi di Indonesia sebenarnya sudah di mulai sejak zaman presiden Soekarno hal ini tercatat dalam sejarah dengan adanya perpu Peraturan Penguasa Militer No. PRT/PM/06/1957 tentang Pemberantasan korupsi dan Peraturan antikorupsi KSAD (Peperpu/C13/1958), dan KSAL (No. Prt/Z.I./1/7).  Peraturan ini memperlakukan korupsi sebagai extra ordinary crime, di dalamnya terdapat sistem hukum preventif (pendaftaran harta benda pejabat), dan pengajuan gugatan langsung ke pengadilan tinggi (tanpa melalui Pengadilan Negeri) terhadap pejabat yang hartanya tidak seimbang dengan gajinya, tetapi sulit dibuktikan. Jaksa Agung Soeprapto pernah membawa Menteri Luar Negeri (alm. Roeslan Abdul Gani) ke pengadilan dengan dugaan korupsi, meski gagal.
Ini menggambarkan bahwasanya bibit-bibit korupsi di Indonesia sebenarnya sudah ada sejak Negara ini merdeka, serta usaha-usaha pemberantasan korupsipun sudah diupayakan sejak bibit-bibit itu mulai tumbuh. Namun usaha pemberantasan korupsi yang sudah lama digulirkan ini selalu mengalami kebuntuan-kebuntuan saat berhadapan dengan para penguasa. Pada periode Demokrasi terpimpin era Soekarno misalnya Perpu No. 24/1960 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi, tidak berarti apa karena harus dihadapkan dengan sistem kekuasaan yang terpusat. Sanksi hukum maksimum 12 tahun atau denda maksimum satu juta rupiah berdasarkan perpu tersebut  seolah-olah seperti macan ompong, terlihat seram, tetapi tetap tidak mebahayakan dan tidak menghasilkan efek jera kepada para koruptor.
Begitu pula di pada era Orde Baru, UU No 3/ 1971 tentang Pemberantasan Korupsi yang mengancam  tindak korupsi dengan  penjara maksimum seumur hidup, plus denda maks. 30 juta rupiah disebut-sebut sebagai hukuman terberat di Asia Tenggara. Namun, hingga jatuhnya Orde Baru, UU  tersebut  tidak memberikan kontribusi menonjol dalam pemberantasan korupsi dan tidak seorangpun yang dijatuhi hukuman penjara seumur hidup, bahkan lebih mengerikan lagi Rezim Orde Baru sendiri dijatuhkan gelombang Reformasi  karena isu Kolusi, Korupsi, dan Nepotisme (KKN) yang bertepatan dengan Krisis Moneter tahun 1998.
Jatuhnya Rezim Orde Baru akibat KKN memberikan tamparan yang cukup keras bagi bangsa Indonesia hingga menyadari akan pentingnya sebuah penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas KKN, kesadaaran akan pemberantasan korupsi ini memunculkan ide pembentukan Pembentukan Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN) dan pada Masa pemerintahan Megawati dikukuhkan lembaga pemberantasan korupsi melalui UU No. 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Harapan Yang Kandas
Usaha pemberantasan korupsi semakin ditingkatkan dengan dikeluarkannya Kepres No. 59/2004 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), ditambah lagi dengan Kepres No. 11/ 2005 tentang Tim Koordinasi Pemberantasan Tipikor; dan Perpu/ 2005. UU No.31/1999 meningkatkan hukuman maksimal bagi pelaku korupsi dengan hukuman mati (pasal 2).  Diubahnya UU no 3 tahun 1971 menjadi UU no 3 tahun 1971 menjadi UU No.31 tahun 1999 memberikan harapan baru bagi pemberantasan korupsi.
 Regulasi hukum melalui UU pemberantasan korupsi terus mengalami perubahan-perubahan, sampai memuat materi baru, seperti gratifikasi, soal izin bagi pejabat sebelum diperiksa, perlindungan saksi, ancaman bagi penegak hukum yang menjual penanganan korupsi, dan penguatan pembuktian terbalik.
Namun kemajuan-kemajuan dalam regulasi pemerintahan baik melalui UU ataupun kepres dan perpu, ternyata tidak berbanding lurus dengan hasil kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi di Indonesia, beberapa koruptor sejak adanya KPK memang banyak yang ditangkap, namun beberapa kasus besar yang mempunyai jaringan kekuasaan seakan sangat sulit tersentuh oleh KPK, kasuk BLBI, Century Gate, kasus Pajak Gayus, dan kasus korupsi M Nazarudin, masih berjalan di tempat, dan belum diketahui akan berhenti sampai di mana atau malah akan hilang ditelan bumi.
Ditambah lagi dengan fakta yang menyedihkan dari Data Lembaga Transparancy Internasional yang  menyebutkan bahwa tahun 2011 Indonesia memiliki indeks persepsi korupsi 3 dengan skala 0 hingga 10, Indonesia dipersepsikan sangat korup. Indeks itu hanya berubah 0,2 dari  indeks tahun 2010. Dari 183 negara  yang disurvei, Indonesia berada di peringkat 100.  Di Asia sendiri Indonesia jauh tertinggal dari Singapura yang berada pada peringkat 5 dengan IPK (9,2). Hal ini terlihat mencoreng bangsa kita yang sudah cukup lama memiliki regulasi anti korupsi dan memasuki era keterbukaan informasi pasca reformasi 1998, Indonesia seharusnya bisa mencapai IPK yang lebih baik.    
 Kondisi tersebut diperburuk dengan bebasnya beberapa  koruptor di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (TIPIKOR) beberapa waktu lalu menambah tercorengnya lembaga ini di mata masyarakat, padahal pengadilan TIPIKOR awalnya menjadi harapan baru setelah di Peradilan Umum banyak para koruptor yang divonis bebas, hal ini tentunya menjadi salah penyebab turunya kepercayaan publik terhadap KPK.  

Tantangan

Pimpinan KPK yang baru sudah terpilih, kita mungkin sedikit skeptis pimpinan KPK yang baru dapat mengusut tuntas  kasus korupsi yang selama ini terbengkalai, namun kita juga tidak boleh memandang sebelah mata pimpinan KPK yang sudah dipilih melalui voting oleh DPR, karena terpilihnya pimpinan KPK yang baru dilakukan dengan proses verifikasi yang sangat ketat oleh pansel dan DPR, ke 5 pimpinan terpilih menyisihkan kurang lebih 230 orang yang lulus seleksi tahap awal di Pansel.
Pimpinan KPK yang dipilih di gedung DPR, Jakarta, Jumat 2 Desember 2011 ini memunculkan nama Abraham Samad, Bambang Widjojanto dan Busyro Muqoddas, Adnan Pandu Praja, dan Zulkarnain sebagai Pimpinan KPK yang baru, dan aktivis Anti Corruption Committee (ACC) di Sulawesi Selatan Abraham Samad terpilih sebagai ketua KPK yang baru.
Tentunya ini menjadi tantangan untuk pimpinan KPK yang baru guna menyelesaikan PR yang tertunda, diperlukan keberanian untuk melawan dominasi para koruptor, tidak hanya sekedar retorika visi dan misi belaka, pimpinan KPK  yang saat ini diketuai oleh Abraham Samad haruslah mempunyai integritas dan tanggung jawab besar terhadap perbaikan bangsa, dan tentunya mempunyai komitmen terhadap pemberantasan korupsi.
Saya rasa sudah saatnya pimpinan KPK saat ini mengakhiri polemik pemberantasan korupsi yang seakan tanpa akhir, ide pembentukan kebun koruptor oleh Mahfudz MD pun perlu menjadi kajian diskusi bahkan akan sangat berarti jika ide itu dapat diaplikasikan, dan hukuman yang pantas bagi para koruptor saat ini adalah hukuman moral, karena sejatinya para koruptor lebih rendah derajatnya dibandingkan binatang.  
Upaya pemberantasan korupsi saat ini kan berhasil jika pemerintah, masyarakat dan media bersinergi untuk memberantas korupsi, tidak hanya upaya-upaya perlawanan, sudah saatnya kita tidak mengesampingkan upaya preventif menuju Indonesia yang bebas dari korupsi, upaya preventif seperti penanaman mental anti-korupsi sejak dini, di barengi dengan sosialisasi dan edukasi anti-korupsi untuk para pendidik dan orang tua. Hal seperti ini merupakan paket yang tidak dapat dipisahkan  dari bagian usaha pemberantasan korupsi. Satu Kalimat… Indonesia Bersih di Mulai dari Kejujuran Individu warganya… FIGHT CORRUPTOR…!

Penulis: Ade Irfan Abdurrahman (Ketua KAMMI UIN Syahid)




1 komentar: