Landasan Poligami
dan jika
kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan
yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita
(lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu
takut tidak akan dapat Berlaku adil Maka (kawinilah) seorang saja, atau
budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat
kepada tidak berbuat aniaya.(Annisa;3)
Ayat
inilah yang sering dijadikan pegangan bagi orang-orang yang menerapkan
poligami. Padahal ayat ini sebenarnya merupakan kelanjutan dari ayat
sebelumnya yang bila diperhatikan lebih seksama akan memberikan
pengertian lain. Bunyi ayat tersebut adalah sebagai berikut :
dan
berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah balig) harta mereka,
jangan kamu menukar yang baik dengan yang buruk dan jangan kamu Makan
harta mereka bersama hartamu. Sesungguhnya tindakan-tindakan (menukar
dan memakan) itu, adalah dosa yang besar.(An-nisa:2)
Imam Bukhari, Muslim, Abu Daud serta
At-Turmuzy meriwayatkan bahwa Urwah ibn Zubair bertanya kepada Aisyah
ra mengenai ayat tersebut diatas. Aisyah menjawab bahwa ayat tersebut
berkaitan dengan anak yatim yang berada dalam pengawasan seorang wali,
dimana hartanya bergabung dengan sang wali. Kemudian karena tertarik
akan kecantikan dan terutama karena hartanya, sang wali bermaksud
mengawininya dengan tujuan agar ia dapat menguasai hartanya. Ia juga
bermaksud tidak memberikan mahar yang sesuai. Aisyah kemudian
melanjutkan penjelasannya bahwa setelah itu beberapa sahabat bertanya
kepada rasulullah saw mengenai perempuan. Maka turunlah ayat 127 surat
An-Nisaa sebagai berikut :
dan
mereka minta fatwa kepadamu tentang Para wanita. Katakanlah: "Allah
memberi fatwa kepadamu tentang mereka, dan apa yang dibacakan kepadamu
dalam Al Quran (juga memfatwakan) tentang Para wanita yatim yang kamu
tidak memberikan kepada mereka apa yang ditetapkan untuk mereka, sedang
kamu ingin
mengawini mereka dan tentang anak-anak yang masih dipandang lemah. dan
(Allah menyuruh kamu) supaya kamu mengurus anak-anak yatim secara adil.
dan kebajikan apa saja yang kamu kerjakan, Maka Sesungguhnya Allah
adalah Maha mengetahuinya.(An-nisa:127)
Dalam
Al-Qur’an disini lihat kembali surat annisa ayat 2-3, Para wanita yatim
yang kamu tidak memberikan kepada mereka apa, apa disini yaitu pusaka
dan maskawin, sedang kamu ingin mengawini mereka yaitu Menurut adat Arab
Jahiliyah seorang Wali berkuasa atas wanita yatim yang dalam asuhannya
dan berkuasa akan hartanya. jika wanita yatim itu cantik dikawini dan
diambil hartanya. jika wanita itu buruk rupanya, dihalanginya kawin
dengan laki-laki yang lain supaya Dia tetap dapat menguasai hartanya.
kebiasaan di atas dilarang melakukannya oleh ayat ini.
Pada
waktu ayat ini diturunkan, dalam tradisi Arab Jahiliah, para wali anak
yatim sering mengawini anak asuhnya disebabkan tertarik akan harta dan
kecantikannya, namun bila si anak yatim tidak cantik ia menghalangi
lelaki lain mengawini mereka karena khawatir harta mereka terlepas dari
tangan para wali. Karena itulah Allah berfirman “jika kamu takut tidak
akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana
kamu mengawininya)”,( kamu dalam ayat ini maksudnya ditujukan kepada
para wali anak yatim),” maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu
senangi: dua, tiga atau empat….”
Begitulah
penjelasan Aisyah (ummul mu’minin) r.a. Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa ayat 3 tersebut diatas bukanlah anjuran untuk
berpoligami. Pada kenyataannya poligami telah dikenal dan dipraktekan
berbagai lapisan masyarakat di berbagai penjuru dunia, baik dunia Barat
maupun Timur, sejak dahulu kala dengan jumlah yang tak terbatas pula.
Bahkan sebagian para nabi sebelum rasulullahpun seperti Ibrahim as, Musa
as dan Daud as juga berpoligami.
Jadi bukan agama Islam yang mengajarkan hal
tersebut.. Islam memang membolehkan namun hanya sebagai jalan keluar
bagi yang memerlukannya, tergantung situasi dan kondisi, apakah lebih
banyak manfaat atau mudharatnya. Itupun dengan syarat yang tidak mudah
dan membatasinya tidak lebih dari 4. Seorang suami sekaligus ayah dalam
Islam wajib bertanggung jawab terhadap perbuatan dan kebutuhan semua
istri dan anak yang dimilikinya, secara adil.
Namun,
bila ditelaah lebih lanjut, ”jika kamu takut tidak akan dapat berlaku
adil, maka (kawinilah) seorang saja,… . Yang demikian itu adalah lebih
dekat kepada tidak berbuat aniaya”, menunjukkan bahwa dengan tidak
berpoligami adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. Karena
dengan begitu, seorang suami tidak perlu merasa ada kekhawatiran berbuat
tidak adil terhadap istri maupun anaknya.
Mampu Berlaku Adil
Berlaku
adil ialah perlakuan yang adil dalam meldeni isteri seperti pakaian,
tempat, giliran dan lain-lain yang bersifat lahiriyah, juga adil dalam
proses pernikahan, jika Istri yang satunya dinikahi secara sah menurut
agama dan Negara, maka istri yang lainnya juga harus diperlakukan
seperti itu, karena jika yang satunya dinikahi secara sah menurut agama
dan Negara, sedangkan yang lainnya hanya dinikahi secara sirri, dalam
hal ini hanya menurut agama, maka jelas keadilan disini belum terpenuhi.
Namun Al-qur’an menjelaskan dalam surat an-nisa ayat 129 bahwa manusia
takkan mampu berlaku adil
dan
kamu sekali-kali tidak akan dapat Berlaku adil di antara
isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena
itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga
kamu biarkan yang lain terkatung-katung. dan jika kamu Mengadakan
perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), Maka Sesungguhnya Allah
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (An-nisa:129)
Islam
memperbolehkan poligami dengan syarat-syarat tertentu. sebelum turun
ayat ini poligami sudah ada, dan pernah pula dijalankan oleh Para Nabi
sebelum Nabi Muhammad s.a.w. ayat ini membatasi poligami sampai empat
orang saja.
Berpoligami dengan alasan Sunnah Rasul?
bila
alasannya ingin meneladani rasulullah, perlu diingat bahwa beliau lebih
lama bermonogami daripada berpoligami. Pada saat poligami adalah suatu
hal yang lumrah di tanah Arab, dimana kebanyakan laki-laki beristri
hingga lebih dari 10, rasulullah lebih memilih untuk bermonogami bersama
istri tercinta, Siti Khadijjah ra, selama lebih kurang 25 tahun, hingga
akhir hayat sang istri.
Padahal
usia rasulullah saat menikah baru 25 tahun, usia dimana dorongan
syahwat seorang laki-laki sedang tinggi-tingginya, sementara Siti
Khadijjah sendiri telah berusia 40 tahun. Dan kalaupun rasulullah memang
menghendakinya, beliau dapat dengan mudah menikah lagi dengan banyak
perempuan tanpa melanggar adat dan tradisi yang berlaku pada masa itu.
Kemudian kurang-lebih 2 tahun setelah wafatnya Siti Khadijjah,
rasulullah menikah lagi, yaitu pada periode Madinah, periode yang penuh
peperangan.
Rasulullah
menjalani monogami—tidak menikah lagi—selama 25 tahun bersama Khadijah.
Tidak ada satu pun petunjuk bahwa selama bersama Khadijah, Rasulullah
pernah menyatakan niat untuk melakukan poligami atau tergoda dengan
perempuan lain. Kesetiaan terhadap Khadijah dijalaninya selama 25 tahun
masa pernikahan hingga Khadijah wafat.
Ketika
Khadijah wafat di kala Rasulullah berusia 50 tahun, beberapa waktu
dilalui Rasulullah dengan menduda. Barulah di saat usia beliau menginjak
51 atau dilain kisah ada yang menulis 52 tahun, maka Rasulullah
mengakhiri masa dudanya dengan menikahi Aisyah yang baru berusia 9 tahun
(ada catatan lain yang mengatakan Aisyah ketika dinikahi Rasulullah
berusia 19 tahun). Namun pernikahan dengan Aisyah ini baru disempurnakan
ketika Beliau hijrah ke Madinah.
Setelah
dengan Aisyah, Rasulullah yang telah berusia 56 tahun menikah lagi
dengan Saudah binti Zam’ah, seorang janda berusia 70 tahun dengan 12
orang anak. Setelah dari Saudah, Rasulullah kembali menikah dengan
Zainab binti Jahsyi, janda berusia 45 tahun, lalu dengan Ummu Salamah
(janda berusia 62 tahun). Di saat berusia 57 tahun, Rasulullah kembali
menikahi Ummu Habibah (janda 47 tahun), dan Juwairiyah binti Al-Harits
(janda berusia 65 tahun dengan telah punya 17 anak).
Setahuh
kemudian Rasulullah kembali menikahi Shafiyah binti Hayyi Akhtab (janda
berusia 53 tahun dengan 10 orang anak), Maimunah binti Al-Harits (anda
berusia 63 tahun), dan Zainab binti Harits (Janda 50 tahun yang banyak
memelihara anak-anak yatim dan orang-orang lemah).
Setahun
kemudian, Rasulullah menikah lagi dengan Mariyah binti Al-Kibtiyah
(gadis 25 tahun yang dimerdekakan), lalu Hafshah binti Umar bin Khattab
(janda 35 tahun, Rasulullah berusia 61 tahun), dan ketika berusia 61
tahun itulah Rasulullah baru menyempurnakan pernikahannya dengan Aisyah,
saat mereka telah hijrah ke Madinah.
Dalam
setiap pernikahan poligami yang dilakukan Rasulullah SAW terdapat
keistimewaan-keistimewaan dan situasi khusus sehingga Allah mengizinkan
Beliau untuk itu. Dari segala catatan yang ada, tidak pernah ada satu
catatan pun yang menyatakan bahwa pernikahan poligami yang dilakukan
Rasulullah disebabkan Rasulullah ingin menjaga kesuciannya dari
perzinahan atau dari segala hal yang berkaitan dengan hawa nafsu. Maha
Suci Allah dan Rasul-Nya.
Jadi
sungguh mustahil bila ada yang berpendapat bahwa rasulullah berpoligami
demi mengejar kesenangan duniawi belaka. Perlu diingat, bahwa semua
perempuan yang menjadi istri rasulullah adalah janda, kecuali Aisyah ra,
dan kesemuanya adalah untuk tujuan menyukseskan dakwah dan membantu
menyelamatkan dan mengangkat derajat perempuan-perempuan yang kehilangan
suami. Dan sebagian besar bukanlah perempuan-perempuan yang dikenal
memiliki daya tarik yang memikat.
Alasan
yang banyak dikemukakan para poligamor sekarang ini dalam melakukan
kehidupan poligami adalah untuk menjaga kesucian mereka dari perzinahan.
Ini tentu tidak salah. Hanya saja, dengan memiliki isteri lebih dari
satu, hal itu bukanlah jaminan bahwa seorang lelaki terbebas dari godaan
terhadap perempuan lain. Rasulullah SAW tidak pernah menjadikan alasan
ini untuk poligaminya.
Istri-Istri Rasullah SAW
1.Siti Khadijjah binti Khuwailid ra.
Ia adalah seorang saudagar perempuan kaya-raya yang dikenal berahlak mulia dan terhormat. Ia mengetahui bahwa Muhammad adalah seorang pemuda yang jujur dan berahlak mulia, oleh sebab itu ia mempercayakan perniagaannya dibawa oleh pemuda tersebut. Nabi saw menerima wahyu pertama 15 tahun setelah perkawinannya dengan Khadujjah ra. Dialah orang pertama yang membenarkan, mendukung dan mempertaruhkan seluruh kekayaannya demi kelancaran dakwah Islam. Ia terus mendampingi rasulullah sebagai satu-satunya istri hingga wafatnya pada usia 65 tahun.
Ia adalah seorang saudagar perempuan kaya-raya yang dikenal berahlak mulia dan terhormat. Ia mengetahui bahwa Muhammad adalah seorang pemuda yang jujur dan berahlak mulia, oleh sebab itu ia mempercayakan perniagaannya dibawa oleh pemuda tersebut. Nabi saw menerima wahyu pertama 15 tahun setelah perkawinannya dengan Khadujjah ra. Dialah orang pertama yang membenarkan, mendukung dan mempertaruhkan seluruh kekayaannya demi kelancaran dakwah Islam. Ia terus mendampingi rasulullah sebagai satu-satunya istri hingga wafatnya pada usia 65 tahun.
2. Aisyah binti Abu Bakar Ash-Shiddiq ra.
Ia satu-satunya istri rasulullah yang ketika dinikahi masih gadis. Abu Bakarlah yang membujuk rasulullah agar mau mengawini putrinya tersebut, karena ia tidak tega melihat rasulullah terus bersedih hati ditinggal wafat Siti Khadijjah.
Ia satu-satunya istri rasulullah yang ketika dinikahi masih gadis. Abu Bakarlah yang membujuk rasulullah agar mau mengawini putrinya tersebut, karena ia tidak tega melihat rasulullah terus bersedih hati ditinggal wafat Siti Khadijjah.
3. Siti Saudah binti Zam’ah ra.
Ia seorang janda berumur yang ditinggal wafat suaminya ketika mereka hijrah ke Habasyah(Ethiopia) guna menghindari serangan kaum musyrik. Ia terpaksa kembali ke Mekah sambil menanggung beban kehidupan anak-anaknya dengan resiko dipaksa murtad oleh kaumnya. Rasulullah menikahinya dalam keadaan demikian.
Ia seorang janda berumur yang ditinggal wafat suaminya ketika mereka hijrah ke Habasyah(Ethiopia) guna menghindari serangan kaum musyrik. Ia terpaksa kembali ke Mekah sambil menanggung beban kehidupan anak-anaknya dengan resiko dipaksa murtad oleh kaumnya. Rasulullah menikahinya dalam keadaan demikian.
4. Hind binti Abi Umayyah atau Ummu Salamah ra.
Juga seorang janda berumur. Suaminya luka parah dalam perang Uhud kemudian gugur tak lama kemudian. Rasulullah menikahinya sebagai penghormatan atas jasa suaminya dan demi menanggung anak-anaknya.
Juga seorang janda berumur. Suaminya luka parah dalam perang Uhud kemudian gugur tak lama kemudian. Rasulullah menikahinya sebagai penghormatan atas jasa suaminya dan demi menanggung anak-anaknya.
5. Ramlah binti Abu Sufyan ra atau Ummu Habibah.
Ia meninggalkan orang-tuanya dan berhijrah ke Habasyah bersama suaminya. Namun sampai ditujuan, sang suami murtad dan menceraikannya. Untuk menghiburnya, rasulullah menikahinya sekaligus dengan harapan dapat menjalin hubungan dengan ayahnya yang waktu itu salah satu tokoh utama kaum musyrik Mekah.
Ia meninggalkan orang-tuanya dan berhijrah ke Habasyah bersama suaminya. Namun sampai ditujuan, sang suami murtad dan menceraikannya. Untuk menghiburnya, rasulullah menikahinya sekaligus dengan harapan dapat menjalin hubungan dengan ayahnya yang waktu itu salah satu tokoh utama kaum musyrik Mekah.
6. Juwairiyah binti Al-Harits ra.
Ia seorang putri kepala suku yang tertawan dalam salah satu peperangan. Keluarganya datang untuk memohon kebebasannya. Namun dalam pertemuan tersebut ternyata mereka tertarik kepada Islam dan kemudian memeluknya, demikian juga Juwairiyah. Sebagai penghormatan rasulullah menikahinya sambil berharap seluruh anggota sukunya memeluk Islam. Ternyata harapan tersebut terlaksana.
Ia seorang putri kepala suku yang tertawan dalam salah satu peperangan. Keluarganya datang untuk memohon kebebasannya. Namun dalam pertemuan tersebut ternyata mereka tertarik kepada Islam dan kemudian memeluknya, demikian juga Juwairiyah. Sebagai penghormatan rasulullah menikahinya sambil berharap seluruh anggota sukunya memeluk Islam. Ternyata harapan tersebut terlaksana.
7. Hafsah binti Umar Ibnul Khatab ra.
Ayahnya sangat bersedih hati ketika suami Hafsah wafat. Ia ‘menawarkan’ agar Abu Bakar mau menikahinya, namun tidak ada jawaban. Demikian juga ketika Umar kembali ‘menawarkan’ kepada Usman bin Affan. Ketika kemudian ia mengadukan kesedihan ini kepada rasulullah, beliau menghiburnya dengan menikahi putrinya itu sekaligus sebagai penghargaan beliau atas sang ayah.
Ayahnya sangat bersedih hati ketika suami Hafsah wafat. Ia ‘menawarkan’ agar Abu Bakar mau menikahinya, namun tidak ada jawaban. Demikian juga ketika Umar kembali ‘menawarkan’ kepada Usman bin Affan. Ketika kemudian ia mengadukan kesedihan ini kepada rasulullah, beliau menghiburnya dengan menikahi putrinya itu sekaligus sebagai penghargaan beliau atas sang ayah.
8.Shaffiyah binti Huyaiy ra.
Ia seorang perempuan Yahudi yang tertawan dalam perang dan dijadikan hamba sahaya oleh salah seorang pasukan muslimin yang menawannya. Kemudan ia memohon kepada rasulullah agar dimerdekakan. Rasulullah mengajukan 2 pilihan ; dimerdekakan dan dipulangkan kepada keluarganya atau dimerdekakan dan tetap tinggal bersama kaum muslimin. Ternyata ia memilih tinggal dan malah memeluk Islam. Sebagai penghargaan rasulullah menikahinya.
Ia seorang perempuan Yahudi yang tertawan dalam perang dan dijadikan hamba sahaya oleh salah seorang pasukan muslimin yang menawannya. Kemudan ia memohon kepada rasulullah agar dimerdekakan. Rasulullah mengajukan 2 pilihan ; dimerdekakan dan dipulangkan kepada keluarganya atau dimerdekakan dan tetap tinggal bersama kaum muslimin. Ternyata ia memilih tinggal dan malah memeluk Islam. Sebagai penghargaan rasulullah menikahinya.
9. Zainab binti jahsyi ra.
Ia sepupu rasulullah dan beliau menikahkannya dengan Zaid ibn Haritsah, bekas anak angkat dan budak beliau. Rumah tangga mereka tidak bahagia sehingga mereka bercerai dan sebagai penanggung jawab perkawinan yang gagal tersebut , rasulullah menikahinya atas perintah Allah.(lihat QS Al-Ahzab (33):37). Ayat ini sekaligus merupakan perintah Allah swt untuk membatalkan adat Arab Jahiliyah yang menganggap anak angkat sebagai anak kandung sehingga tidak boleh mengawini bekas istri mereka.
Ia sepupu rasulullah dan beliau menikahkannya dengan Zaid ibn Haritsah, bekas anak angkat dan budak beliau. Rumah tangga mereka tidak bahagia sehingga mereka bercerai dan sebagai penanggung jawab perkawinan yang gagal tersebut , rasulullah menikahinya atas perintah Allah.(lihat QS Al-Ahzab (33):37). Ayat ini sekaligus merupakan perintah Allah swt untuk membatalkan adat Arab Jahiliyah yang menganggap anak angkat sebagai anak kandung sehingga tidak boleh mengawini bekas istri mereka.
10. Zainab binti Khuzaimah ra.
Ia seorang janda, suaminya gugur dalam perang Uhud dan tidak seorangpun dari kaum muslimin setelah itu mau menikahinya. Kemudian rasulullah menikahinya.
Ia seorang janda, suaminya gugur dalam perang Uhud dan tidak seorangpun dari kaum muslimin setelah itu mau menikahinya. Kemudian rasulullah menikahinya.
11. Maryah Al-Qibthiyyah ra.
Ia seorang hamba sahaya, hadiah dari penguasa Mesir, Muqauqis. Setelah dimerdekakan dan masuk Islam, rasulullah menikahinya. Ia adalah satu-satunya istri rasulullah diluar Khadijjah yang dikarunia anak walaupun kemudian meninggal ketika masih bayi.
Pada Hakikatnya wanita itu sama
pada hakikatnya semua wanita itu sama, Allah menjadikan indah pada diri wanita untuk kaum laki-laki sebagaimana disebutkan dalam surat ali imran ayat:14
Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).
Ia seorang hamba sahaya, hadiah dari penguasa Mesir, Muqauqis. Setelah dimerdekakan dan masuk Islam, rasulullah menikahinya. Ia adalah satu-satunya istri rasulullah diluar Khadijjah yang dikarunia anak walaupun kemudian meninggal ketika masih bayi.
Pada Hakikatnya wanita itu sama
pada hakikatnya semua wanita itu sama, Allah menjadikan indah pada diri wanita untuk kaum laki-laki sebagaimana disebutkan dalam surat ali imran ayat:14
Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).
pada hakikatnya wanita itu semua wanita itu sama, yang sama apanya?
silahkan kalian fikirkan sendiri, sehingga Allah menyebutkan dalam surat Al-Baqarah:223
Isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki. Dan kerjakanlah (amal yang baik) untuk dirimu, dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa kamu kelak akan menemui-Nya. Dan berilah kabar gembira orang-orang yang beriman.
sehingga karena hakekatnya wanita itu sama saja, lantas untuk apa berpoligami?
istri-istri kita sesungguhnya tidak akan habis hingga maut menjemput
istri-istri kita sesungguhnya tidak akan habis hingga maut menjemput
Namun demikian
sebagai Sang Pencipta, Allah swt paham betul, bahwa sebagian mahlukNya,
terutama laki-laki, memiliki dorongan syahwat yang begitu tinggi. Hal
ini terbukti dengan banyaknya penyelewengan dan perzinahan yang terjadi
walau hampir semua agama besar melaknatnya. Bahkan Islam mengancamnya
dengan 100 hukuman cambuk yang harus disaksikan sebagaimana di sebutkan
dalam Al-Qur’an surat An-nur ayat:2.
perempuan
yang berzina dan laki-laki yang berzina, Maka deralah tiap-tiap seorang
dari keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas kasihan kepada
keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu
beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan)
hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang
beriman.(Annur:2)
'
Dan
sesungguhnya pihak perempuanlah yang mula-mula menjadi korban. Dialah
yang harus menanggung akibatnya. Akan terlahir banyak anak tanpa ayah
yang bertanggung-jawab. Lalu siapa yang harus bertanggung-jawab mendidik
dan membesarkan anak-anak tersebut? Hal penting lain yang perlu
diingat, bukankah ada hadis yang mengatakan bahwa di akhir zaman nanti
jumlah perempuan akan lebih banyak dari lelaki? Bila Al-Quran melarang
poligami secara mutlak, dapatkah kita bayangkan bagaimana nasib
anak-cucu perempuan kita nanti? Akankah mereka itu selamanya tidak akan
menikah? Bila demikian lalu siapa yang akan mengayomi mereka?? Bukankah
Al-Quran adalah sebuah kitab yang berlaku sepanjang zaman? Pasti ada hikmah dibalik semua peraturanNya.
Akibat Hukum yang ditimbulkan apabila berpoligami secara sirri berdasarkan KUHP
Dalam hal ini kita bisa kaji berdasarkan Kompilasi Hukum Islam Pasal 7 Ayat 1 KHI “Perkawinan
hanya dapat dibuktikan dengan Akta Nikah yang dibuat oleh Pegawai
Pencatat Nikah.” Pegawai pencatat nikah dalam hal ini adalah KUA bagi
umat Islam dan Catatan Sipil bagi Orang2 Non Muslim yang berada di
Indonesia.
Apabila
seorang Istri mengetahui bahwa suaminya telah berpoligami secara sirri
kepada wanita lain, maka sepatutnya seorang istri dapat melakukan
suaminya telah melakukan OVERSPEL atau perzinahan, berdasarkan Pasal 284
KUHP:
(1) Diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan:
l. a. seorang pria yang telah kawin yang melakukan gendak (overspel), padahal diketahui bahwa pasal 27 BW berlaku baginya,
b. seorang wanita yang telah kawin yang melakukan gendak, padahal diketahui bahwa pasal 27 BW berlaku baginya;
2. a. seorang pria yang turut serta melakukan perbuatan itu, padahal diketahuinya bahwa yang turut bersalah telah kawin;
b.
seorang wanita yang telah kawin yang turut serta melakukan perbuatan
itu, padahal diketahui olehnya bahwa yang turut bersalah telah kawin dan
pasal 27 BW berlaku baginya.
(2)
Tidak dilakukan penuntutan melainkan atas pengaduan suami/istri yang
tercemar, dan bilamana bagi mereka berlaku pasal 27 BW, dalam tenggang
waktu tiga bulan diikuti dengan permintaan bercerai atau pisah-meja dan
ranjang karena alasan itu juga.
Pasal 27 BW:” Pada waktu yang sama, seorang lelaki hanya boleh terikat perkawinan dengan satu orang
perempuan saja; dan seorang perempuan hanya dengan satu orang lelaki saja.”
Apabila
dalam hal berpoligami suami menyembunyikan identitas perkawinanya,
padahal karena perkawinannya itu bisa menjadi penghalang untuknya
menikah lagi, dapat dikenakan pasal 279 KUHP
(1) Diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun:
1.
barang siapa mengadakan perkawinan padahal mengetahui bahwa perkawinan
atau perkawinan-perkawinannya yang telah ada menjadi penghalang yang sah
untuk itu;
2.
barang siapa mengadakan perkawinan padahal mengetahui bahwa perkawinan
atau perkawinan-perkawinan pihak lain menjadi penghalang untuk itu.
(2)
Jika yang melakukan perbuatan berdasarkan ayat 1 butir 1 menyembunyikan
kepada pihak lain bahwa perkawinan yang telah ada menjadi penghalang
yang sah untuk itu diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh
tahun.
Syarat Poligami Berdasarkan Kompilasi Hukum Islam di Indonesia
Pasal 55
(1) Beristeri lebih satu orang pada waktu bersamaan, terbatas hanya sampai empat isteri.
(2) Syarat utaama beristeri lebih dari seorang, suami harus mampu berlaku adil terhadap ister-isteri dan anak-anaknya.
(3) Apabila syarat utama yang disebut pada ayat (2) tidak mungkin dipenuhi, suami dilarang beristeri dari seorang.
Pasal 56
(1) Suami yang hendak beristeri lebih dari satu orang harus mendapat izin dari Pengadilan Agama.
(2) Pengajuan permohonan Izin dimaksud pada ayat (1) dilakukan menurut pada tata cara
sebagaimana diatur dalam Bab.VIII Peraturan Pemeritah No.9 Tahun 1975.
(3)
Perkawinan yang dilakukan dengan isteri kedua, ketiga atau keempat
tanpa izin dari Pengadilan Agama, tidak mempunyai kekuatan hukum.
Pasal 57
Pengadilan Agama hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang apabila :
a. isteri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai isteri;
b. isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;
c. isteri tidak dapat melahirkan keturunan.
Pasal 58
(1)
Selain syarat utama yang disebut pada pasal 55 ayat (2) maka untuk
memperoleh izin pengadilan Agama, harus pula dipenuhi syarat-syarat yang
ditentukan pada pasal 5 Undang-Undang No.1 Tahun 1974 yaitu :
a. adanya pesetujuan isteri;
b. adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup ister-isteri dan anak-anak mereka.
(2)
Dengan tidak mengurangi ketentuan pasal 41 huruf b Peraturan Pemerintah
No. 9 Tahun 1975, persetujuan isteri atau isteri-isteri dapat diberikan
secara tertulis atau denganlisan, tetapi sekalipun telah ada
persetujuan tertulis, persetujuan ini dipertegas dengan persetujuan
lisan isteri pada sidang Pengadilan Agama.
(3)
Persetujuan dimaksud pada ayat (1) huruf a tidak diperlukan bagi
seorang suami apabila isteri atau isteri-isterinya tidak mungkin
dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian
atau apabila tidak ada kabar dari isteri atau
isteri-isterinyasekurang-kurangnya 2 tahun atau karena sebab lain yang
perlu mendapat penilaian Hakim.
Pasal 59
Dalam
hal istri tidak mau memberikan persetujuan, dan permohonan izin untuk
beristeri lebih dari satu orang berdasarkan atas salh satu alasan yang
diatur dalam pasal 55 ayat (2) dan 57, Pengadilan Agama dapat menetapkan
tenyang pemberian izin setelah memeriksa dan mendengar isteri yang
bersangkutan di persidangan Pengadilan Agama, dan terhadap penetapan ini
isteri atau suami dapat mengajukan banding atau kasasi.
Sebagai umat Islam Sudah sepatutnyalah kita mengikuti peraturan yang dibuat oleh pemerintah, selama peraturan tersebut tidak bertentangan dengan syari’at sebagaiamana yang disebutkan dalam surat Ann-nisa:59
Hai
orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan
ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang
sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul
(sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari
kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya.
Akibat Berpoligami secara siri di Indonesia
- Kedudukan istri dalam hokum Islam sama tidak ada perbedaannya, namun dalam hal ini Negara tidak mengakui keberadaannya, pengakuan ini penting artinya bagi pasangan untuk mendapatkan perlindungan hokum(hak keperdataan). Tiadanya pengakuan dari Negara melalui akte mengakibatkan posisi perempuan atau istri lemah dalam hal melakukan tindakan hokum berupa tuntutan pemenuhan hak-hak sebagai istri , dan hak-hak lain bila ditinggal suami, suami meninggal dan atau dicerai suaminya. Penegak hokum atau pengadilan hanya begang pada bukti yang sah yaitu akte nikah untuk memproses tuntutan, gugatan, dan perselisihan pasangan itu.
- Kedudukan anak tetap sama dalam hokum islam, namun jika dilakukan secara siri yang tidak memiliki akte nikah, maka nama anak tersebut tidak akan tercantum nama ayah biologisnya pada akte kelahiran anak tersebut dan hanya tesebut bersrcantum nama ibu yang melahirkan. Sehingga anak tersebut berstatus anak luar kawin, sehingga tidak bisa melakukan hubungan keperdataan dengan ayah biologisnya. Anak hanya memiliki hubungan keperdataan dengan ibunya dan keluarga ibunya. Hal ini akan menimbulkan beban psikologis dan social bagi anak. Ayah tersebut dengan itikad tidak baik sewaktu-waktu bisa menginghkari bahwa anak tersebut bukanlah anaknya sehingga hak-haknya tidak didapatkan sebagaimana anak-anak yang lain.
- Akibat perkawinan siri terhadap harta kekayaan jika menurut syari’at islam yang berlaku maka tetap diperhitungkan, tetapi berdasarkan Negara karena tidak dicatatkan maka dengan itikad tidak baik dari suami maka suami bisa melakukan suatu pengingkaran mengenai harta bersama tersebut. Istri tidak memiliki kekuatan jika persoalan tersebut dilakukan menurut hokum Negara. Satu-satunya jalan adalah melalui jalan mediasi dan musyawarah mufakat diluar pengadilan.
Referensi:
1. Al-Qur'anul Karim
2. Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir oleh M. Nasib Ar-Rifa’i.
3. Tafsir Al-Misbah oleh M.Quraish Shihab.
4. Riwayat Kehidupan Nabi Besar Muhammad saw oleh HMH Al Hamid Al Husaini
5.http://vienmuhadi.com/2009/05/22/mengapa-rasulullah-berpoligami/
6.http://tentangsemua.wordpress.com/2008/04/22/rasulullah-baru-poligami-diusia-51-tahun/
7. Kompilasi Hukum Islam (KHI)
8. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana(KUHP)
9.Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
10.Undang-Undang Republik Indonesia Nomer 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
Penulis adalah Muhammad Aulia Syifa, beliau mahasiswa tingkat akhir di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan juga mengambil jurusan Hukum Pidana di Universitas Muhammadiyah Jakarta. saat ini beliau juga menjabat sebagai wakil ketua umum KAMMI UIN SYAHID, periode 2011-2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar