Usaha pemberantasan korupsi di Indonesia sebenarnya sudah di mulai sejak zaman presiden Soekarno hal ini tercatat dalam sejarah dengan adanya perpu Peraturan Penguasa Militer No. PRT/PM/06/1957 tentang Pemberantasan korupsi dan Peraturan antikorupsi KSAD (Peperpu/C13/1958), dan KSAL (No. Prt/Z.I./1/7). Peraturan ini memperlakukan korupsi sebagai extra ordinary crime, di dalamnya terdapat sistem hukum preventif (pendaftaran harta benda pejabat), dan pengajuan gugatan langsung ke pengadilan tinggi (tanpa melalui Pengadilan Negeri) terhadap pejabat yang hartanya tidak seimbang dengan gajinya, tetapi sulit dibuktikan. Jaksa Agung Soeprapto pernah membawa Menteri Luar Negeri (alm. Roeslan Abdul Gani) ke pengadilan dengan dugaan korupsi, meski gagal.
Ini
menggambarkan bahwasanya bibit-bibit korupsi di Indonesia sebenarnya sudah ada
sejak Negara ini merdeka, serta usaha-usaha pemberantasan korupsipun sudah
diupayakan sejak bibit-bibit itu mulai tumbuh. Namun usaha pemberantasan
korupsi yang sudah lama digulirkan ini selalu mengalami kebuntuan-kebuntuan
saat berhadapan dengan para penguasa. Pada periode Demokrasi terpimpin era
Soekarno misalnya Perpu No.
24/1960 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi,
tidak berarti apa karena harus dihadapkan dengan sistem kekuasaan yang
terpusat. Sanksi hukum maksimum
12 tahun atau denda maksimum satu juta rupiah berdasarkan
perpu tersebut seolah-olah seperti macan
ompong, terlihat seram, tetapi tetap tidak mebahayakan dan tidak menghasilkan
efek jera kepada para koruptor.
Begitu
pula di pada era Orde Baru, UU
No 3/ 1971 tentang Pemberantasan Korupsi yang mengancam tindak korupsi dengan penjara maksimum seumur hidup, plus denda maks. 30 juta rupiah disebut-sebut
sebagai hukuman terberat di Asia Tenggara.
Namun, hingga jatuhnya Orde Baru, UU tersebut tidak memberikan
kontribusi menonjol dalam pemberantasan korupsi dan tidak seorangpun yang
dijatuhi hukuman penjara seumur hidup, bahkan lebih mengerikan lagi Rezim Orde Baru sendiri dijatuhkan gelombang Reformasi karena isu Kolusi, Korupsi, dan Nepotisme (KKN)
yang bertepatan dengan Krisis Moneter tahun 1998.
Jatuhnya
Rezim Orde Baru akibat KKN memberikan tamparan yang cukup keras bagi bangsa
Indonesia hingga menyadari akan pentingnya sebuah penyelenggaraan Negara yang
bersih dan bebas KKN, kesadaaran akan pemberantasan korupsi ini memunculkan ide
pembentukan Pembentukan Komisi
Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN) dan pada Masa
pemerintahan Megawati dikukuhkan lembaga pemberantasan korupsi melalui UU No. 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Harapan Yang Kandas
Usaha
pemberantasan korupsi semakin ditingkatkan dengan dikeluarkannya Kepres No. 59/2004 tentang Pengadilan Tindak Pidana
Korupsi (Tipikor), ditambah lagi dengan Kepres No. 11/ 2005 tentang Tim Koordinasi Pemberantasan
Tipikor; dan Perpu/ 2005. UU No.31/1999 meningkatkan hukuman maksimal bagi
pelaku korupsi
dengan hukuman mati (pasal 2). Diubahnya UU no 3 tahun 1971 menjadi UU no 3
tahun 1971 menjadi UU No.31 tahun 1999 memberikan harapan baru bagi
pemberantasan korupsi.
Regulasi
hukum melalui UU pemberantasan korupsi terus mengalami perubahan-perubahan,
sampai memuat materi baru, seperti gratifikasi, soal izin bagi pejabat sebelum
diperiksa, perlindungan saksi, ancaman bagi penegak hukum yang menjual
penanganan korupsi, dan penguatan pembuktian terbalik.
Namun kemajuan-kemajuan dalam regulasi pemerintahan baik
melalui UU ataupun kepres dan perpu, ternyata tidak berbanding lurus dengan
hasil kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi di Indonesia, beberapa koruptor
sejak adanya KPK memang banyak yang ditangkap, namun beberapa kasus besar yang
mempunyai jaringan kekuasaan seakan sangat sulit tersentuh oleh KPK, kasuk
BLBI, Century Gate, kasus Pajak Gayus, dan kasus korupsi M Nazarudin, masih
berjalan di tempat, dan belum diketahui akan berhenti sampai di mana atau malah
akan hilang ditelan bumi.
Ditambah lagi dengan fakta yang menyedihkan
dari Data Lembaga Transparancy Internasional yang menyebutkan bahwa tahun 2011 Indonesia
memiliki indeks persepsi korupsi 3 dengan skala 0 hingga 10, Indonesia
dipersepsikan sangat korup. Indeks itu hanya berubah 0,2 dari indeks tahun 2010. Dari 183 negara yang
disurvei, Indonesia berada di peringkat 100.
Di Asia sendiri Indonesia jauh tertinggal dari Singapura yang berada
pada peringkat 5 dengan IPK (9,2). Hal ini terlihat mencoreng bangsa kita yang
sudah cukup lama memiliki regulasi anti korupsi dan memasuki era keterbukaan
informasi pasca reformasi 1998, Indonesia seharusnya bisa mencapai IPK yang
lebih baik.
Kondisi
tersebut diperburuk dengan bebasnya beberapa koruptor di pengadilan Tindak Pidana Korupsi
(TIPIKOR) beberapa waktu lalu menambah tercorengnya lembaga ini di mata
masyarakat, padahal pengadilan TIPIKOR awalnya menjadi harapan baru setelah di
Peradilan Umum banyak para koruptor yang divonis bebas, hal ini tentunya
menjadi salah penyebab turunya kepercayaan publik terhadap KPK.
Tantangan
Pimpinan KPK yang baru sudah terpilih, kita mungkin sedikit skeptis pimpinan
KPK yang baru dapat mengusut tuntas
kasus korupsi yang selama ini terbengkalai, namun kita juga tidak boleh
memandang sebelah mata pimpinan KPK yang sudah dipilih melalui voting oleh DPR,
karena terpilihnya pimpinan KPK yang baru dilakukan dengan proses verifikasi
yang sangat ketat oleh pansel dan DPR, ke 5 pimpinan terpilih menyisihkan
kurang lebih 230 orang yang lulus seleksi tahap awal di Pansel.
Pimpinan KPK yang dipilih di gedung
DPR, Jakarta, Jumat 2 Desember 2011 ini memunculkan nama Abraham Samad, Bambang
Widjojanto dan Busyro Muqoddas, Adnan Pandu Praja, dan Zulkarnain sebagai
Pimpinan KPK yang baru, dan aktivis Anti Corruption Committee (ACC) di Sulawesi
Selatan Abraham Samad terpilih sebagai ketua KPK yang baru.
Tentunya ini menjadi tantangan untuk pimpinan KPK yang
baru guna menyelesaikan PR yang tertunda, diperlukan keberanian untuk melawan
dominasi para koruptor, tidak hanya sekedar retorika visi dan misi belaka, pimpinan
KPK yang saat ini diketuai oleh Abraham
Samad haruslah mempunyai integritas dan tanggung jawab besar terhadap perbaikan
bangsa, dan tentunya mempunyai komitmen terhadap pemberantasan korupsi.
Saya
rasa sudah saatnya pimpinan KPK saat ini mengakhiri polemik pemberantasan
korupsi yang seakan tanpa akhir, ide pembentukan kebun koruptor oleh Mahfudz MD
pun perlu menjadi kajian diskusi bahkan akan sangat berarti jika ide itu dapat
diaplikasikan, dan hukuman yang pantas bagi para koruptor saat ini adalah
hukuman moral, karena sejatinya para koruptor lebih rendah derajatnya
dibandingkan binatang.
Upaya
pemberantasan korupsi saat ini kan berhasil jika pemerintah, masyarakat dan
media bersinergi untuk memberantas korupsi, tidak hanya upaya-upaya perlawanan,
sudah saatnya kita tidak mengesampingkan upaya preventif menuju Indonesia yang
bebas dari korupsi, upaya preventif seperti penanaman mental anti-korupsi sejak
dini, di barengi dengan sosialisasi dan edukasi anti-korupsi untuk para
pendidik dan orang tua. Hal seperti ini merupakan paket yang tidak dapat
dipisahkan dari bagian usaha
pemberantasan korupsi. Satu Kalimat… Indonesia Bersih di Mulai dari Kejujuran Individu
warganya… FIGHT CORRUPTOR…!
Penulis: Ade Irfan Abdurrahman (Ketua KAMMI UIN Syahid)
Penulis: Ade Irfan Abdurrahman (Ketua KAMMI UIN Syahid)
thanks Bray Infonya !!!
BalasHapuswww.kiostiket.com