Peradaban berasal
dari kata adab, sebuah ilmu dzahir (benar) yang diamalkan dengan cara tertentu.
Ilmu yang salah akan memberikan penafsiran yang salah. Bila itu terjadi, maka
runtuhlah peradaban.
Hal tersebut
dikemukakan oleh cendekiawan muslim dari ISTAC Malaysia, Dr. Syamsudin Arif,
pada seminar internasional ‘Islam dan Peradaban Dunia’ di Teater lantai I
Fakultas Tarbiyah UIN Jakarta, Jum’at (2/3).
Seminar yang
diselenggarakan Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) UIN Syahid
dengan menggandeng Lembaga Dakwah Kampus (LDK) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
ini menghadirkan Dr. Adi Setia dan Dr. Syamsudin Arif sebagai pembicara.
Dr.
Syamsudin Arif menjelaskan, sains (ilmu) dan teknologi menjadi tolak ukur
kemajuan sebuah peradaban. Semakin tinggi sains dan teknologi yang dimiliki,
maka makin tinggi pula peradabannya. Namun, kemunculan sains modern untuk
pertama kalinya dalam sejarah umat manusia menyebabkan berbagai kerusakan.
Teknologi yang semakin maju, justru menjadi pemicu kerusakan alam. Sistem
pertanian sudah tercemari oleh racun-racun hasil buatan manusia itu sendiri.
“Kita
belajar sains pada barat, padahal mereka mengubah fitrah alam. Sedangkan alam
adalah Ayyatullah”, kata Dr. Syamsudin. Alam sebagai Ayyatullah berarti alam sebagai
tanda kekuasaan Allah yang Maha Perkasa. Karena itu, sudah sepatutnya manusia
menghormati alam.
Menurut dia,
saat ini sains modern bisa dikatakan berpedoman pada dunia barat yang sudah
mengubah fitrah alam dengan prinsip ekonomi untuk mencari keuntungan
sebanyak-banyaknya. Alhasil, manusia malah mengorbankan masa depan demi
kepentingan jangka pendek yang menyebabkan kerusakan jangka panjang.
Ia juga
menjelaskan, pada dasaranya tujuan utama keberadaan sains dan teknologi adalah
untuk membantu dan memudahkan kerja manusia. Namun, bukan berarti manusia bebas
mengeksploitasi alam sesuka hatinya. “Manusia sebagai hamba Allah yang bergerak
dengan lemah lembut, bukan dengan cara takabur.”
Solusinya,
perlu ada lembaga pendidikan yang tidak terpengaruh dengan sains barat yang sekular
dan selalu mencari celah untuk masuk ke dalam tatanan Islam. Selain itu,
lembaga pendidikan harus menanamkan pada anak didiknya untuk selalu mengamalkan
alam sebagai ayyatullah yang harus dimaknai dari berbagai aspek, tidak hanya
dari aspek ekonomi saja.
Di penghujung
acara, Dr. Adi Setia mengutip kalimat ‘kalau tidak ada guru, maka setanlah yang
menjadi gurunya’. Ia mengatakan, perlu ada bimbingan atau orang untuk diajak
berdiskusi agar tidak salah dalam bertindak. Segala sesuatu ada ilmunya dan
ilmu membutuhkan guru. Jangan sampai paham yang salah dianggap sebagai suatu kebenaran.
Ketua acara,
Gery Suryosukmono mengatakan, tujuan diselenggarakannya seminar ini ialah
sebagai upaya KAMMI UIN Syahid dalam mengimbangi serta melawan
pemikiran-pemikiran yang merusak dan mendiskreditkan Islam, juga sebagai
langkah nyata KAMMI UIN Syahid dalam menuju internasionalisasi gerakan. Melihat
respon mahasiswa yang membludak, Gery menyatakan, “Alhamdulillah. Untuk ke
depannya, kami berharap agar terbangun budaya kritis dan kepedulian terhadap
permasalahan bangsa melalui kajian-kajian seperti ini dan akan dibentuk forum
kajian-kajian rutin untuk mahasiswa”. (hau)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar