Jumat, 02 Maret 2012

Peran Alam dalam Peradaban Dunia


Peradaban berasal dari kata adab, sebuah ilmu dzahir (benar) yang diamalkan dengan cara tertentu. Ilmu yang salah akan memberikan penafsiran yang salah. Bila itu terjadi, maka runtuhlah peradaban.

Hal tersebut dikemukakan oleh cendekiawan muslim dari ISTAC Malaysia, Dr. Syamsudin Arif, pada seminar internasional ‘Islam dan Peradaban Dunia’ di Teater lantai I Fakultas Tarbiyah UIN Jakarta, Jum’at (2/3).

Seminar yang diselenggarakan Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) UIN Syahid dengan menggandeng Lembaga Dakwah Kampus (LDK) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini menghadirkan Dr. Adi Setia dan Dr. Syamsudin Arif sebagai pembicara.

Dr. Syamsudin Arif menjelaskan, sains (ilmu) dan teknologi menjadi tolak ukur kemajuan sebuah peradaban. Semakin tinggi sains dan teknologi yang dimiliki, maka makin tinggi pula peradabannya. Namun, kemunculan sains modern untuk pertama kalinya dalam sejarah umat manusia menyebabkan berbagai kerusakan. Teknologi yang semakin maju, justru menjadi pemicu kerusakan alam. Sistem pertanian sudah tercemari oleh racun-racun hasil buatan manusia itu sendiri.

“Kita belajar sains pada barat, padahal mereka mengubah fitrah alam. Sedangkan alam adalah Ayyatullah”, kata Dr. Syamsudin. Alam sebagai Ayyatullah berarti alam sebagai tanda kekuasaan Allah yang Maha Perkasa. Karena itu, sudah sepatutnya manusia menghormati alam.

Menurut dia, saat ini sains modern bisa dikatakan berpedoman pada dunia barat yang sudah mengubah fitrah alam dengan prinsip ekonomi untuk mencari keuntungan sebanyak-banyaknya. Alhasil, manusia malah mengorbankan masa depan demi kepentingan jangka pendek yang menyebabkan kerusakan jangka panjang.

Ia juga menjelaskan, pada dasaranya tujuan utama keberadaan sains dan teknologi adalah untuk membantu dan memudahkan kerja manusia. Namun, bukan berarti manusia bebas mengeksploitasi alam sesuka hatinya. “Manusia sebagai hamba Allah yang bergerak dengan lemah lembut, bukan dengan cara takabur.”

Solusinya, perlu ada lembaga pendidikan yang tidak terpengaruh dengan sains barat yang sekular dan selalu mencari celah untuk masuk ke dalam tatanan Islam. Selain itu, lembaga pendidikan harus menanamkan pada anak didiknya untuk selalu mengamalkan alam sebagai ayyatullah yang harus dimaknai dari berbagai aspek, tidak hanya dari aspek ekonomi saja.

Di penghujung acara, Dr. Adi Setia mengutip kalimat ‘kalau tidak ada guru, maka setanlah yang menjadi gurunya’. Ia mengatakan, perlu ada bimbingan atau orang untuk diajak berdiskusi agar tidak salah dalam bertindak. Segala sesuatu ada ilmunya dan ilmu membutuhkan guru. Jangan sampai paham yang salah dianggap sebagai suatu kebenaran.

Ketua acara, Gery Suryosukmono mengatakan, tujuan diselenggarakannya seminar ini ialah sebagai upaya KAMMI UIN Syahid dalam mengimbangi serta melawan pemikiran-pemikiran yang merusak dan mendiskreditkan Islam, juga sebagai langkah nyata KAMMI UIN Syahid dalam menuju internasionalisasi gerakan. Melihat respon mahasiswa yang membludak, Gery menyatakan, “Alhamdulillah. Untuk ke depannya, kami berharap agar terbangun budaya kritis dan kepedulian terhadap permasalahan bangsa melalui kajian-kajian seperti ini dan akan dibentuk forum kajian-kajian rutin untuk mahasiswa”. (hau)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar